BANDA ACEH – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menyambut baik sikap pemerintah mencabut 192 izin kehutanan, 137 izin Hak Guna Usaha dan 2.078 IUP Pertambangan.
“Ini merupakan momentum penting untuk dapat segera menyelesaikan semua konflik agraria dalam upaya pemulihan lingkungan,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Rabu (12/1/2021).
Akan tetapi, sebut Om Sol, sebut akrab Ahmad Shalihin, yang harus dipahami tidak semua izin dicabut. Dari 11 izin kehutanan di Aceh yang masuk dalam daftar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nomor: SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan tersebut.
Dari 192 izin, kata Om Sol, yang masuk dalam daftar tersebut di seluruh Indonesia, 11 izin berada di Provinsi Aceh, hanya 1 izin yang telah dicabut, 7 izin sedang proses pencabutan dan 3 izin tahap dievaluasi.
“Yang harus dipahami tidak semua izin itu sudah dicabut. Tapi yang sudah dicabut hanya satu di Aceh yaitu PT Gunung Raya Utama Timber Industries,” sebut Om Sol.
Menurutnya, ada kemungkinan 10 izin di Aceh ini diaktifkan kembali, tergantung hasil evaluasi yang dilakukan oleh Tim Pengendalian Perizinan Konsesi, Penertiban dan Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan.
“Tentunya ini perlu kita awasi bersama, jangan sampai 10 izin tersebut kembali beroperasi,” tegasnya.
Kendati demikian, WALHI Aceh menilai keputusan ini menjadi momentum penting dalam upaya perluasan wilayah kelola rakyat, penyelesaian konflik agraria dan yang lebih penting adalah pemulihan lingkungan yang ditinggalkan oleh pemegang izin. Keputusan ini hendaknya tidak serta merta menghilangkan kewajiban pemegang izin atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitasnya.
Keputusan ini hendaknya dibarengi dengan moratorium izin pertambangan, kehutanan dan perkebunan. Pemerintah juga harus melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap lahan atau kawasan yang dicabut izinnya.
“Evaluasi penting dilakukan untuk mengetahui mana lahan atau kawasan yang dapat dimanfaatkan oleh rakyat, mana yang harus dipulihkan dan mana yang dikelola oleh negara,” tegasnya.
Om Sol meminta pemerintah hendaknya tidak terburu-buru menerbitkan izin baru sebelum proses evaluasi menyeluruh dilakukan, karena upaya perbaikan tata kelola ini dilakukan untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan dan kerusakan lingkungan.
WALHI Aceh juga mempertanyakan, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Mandum Payah Tamita dan PT Rencong Pulp and Paper Industri tidak masuk dalam daftar Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan tersebut.
Padahal secara kasat mata, sebutnya, berdasarkan monitoring WALHI Aceh, perusahaan itu terlantar dan banyak ditemukan aktivitas ilegal dalam konsesi kedua perusahaan tersebut. Harusnya kedua pemilik izin konsesi itu juga harus dicabut.
“Harusnya ini juga harus masuk ke dalam daftar tersebut, ini patut dipertanyakan,” ungkapnya.
Selain itu WALHI Aceh juga menyoroti, mengapa hanya izin konsesi kehutanan saja yang dapat diakses datanya oleh publik. Sedangkan izin pertambangan dan hak guna usaha masih belum bias diakses.
“Ini patut dipertanyakan, kenapa hanya kehutanan yang dapat diakses , sedangkan pertambangan dan HGU tidak dapat di akses,” tutupnya.