BANDA ACEH – Koordinator Kaukus Peduli Aceh Muhammad Hasbar Kuba menerangkan perihal isu yang berkembang akhir-akhir ini terkait kandidat Pj gubernur Aceh.
Dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) menjelaskan bahwa Jabatan Pimpinan Tinggi terdiri atas: jabatan pimpinan tinggi utama; jabatan pimpinan tinggi madya; dan jabatan pimpinan tinggi pratama.
Hasbar menjelaskan, yang dimaksud dengan jabatan pimpinan tinggi madya meliputi: sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
Lebih lanjut, kata Hasbar, mengacu pada Perpres Nomor 68 Tahun 2019 Tentang Organisasi Kementerian Negara, uraian tentang Staf Khusus lebih banyak pasalnya dan mekanisme pengaturannya dibandingkan dengan Perpres tentang hal yang sama di periode Pak SBY.
Dalam Perpres 68 tahun 2019, Staf Khusus tidak dapat diangkat langsung oleh Menteri, tetapi namanya diajukan ke Presiden, dan jika Presiden setuju baru diserahkan kepada menteri terkait untuk diterbitkan Surat Keputusannya. Artinya Staf Khusus yang diangkat Menteri tidak terlepas dari control Istana melalui Mensekneg.
“Jabatan staf khusus adalah jabatan lain yang setara, maka semua fasilitasnya disetarakan esselon 1B. Jadi, bahasa setara dalam UU dan selanjutnya Perpres itu jangan dianulir,” kata Hasbar, Rabu (16/02/2022).
Sementara, lanjut Hasbar menegaskan, untuk masalah Pj Gubernur itu adalah sepenuhnya hak preogratif presiden.
“Jika presiden menginginkan untuk Pj Gubernur Aceh yang nantinya menjalankan amanah presiden untuk Aceh adalah Tgk M Adli Abdullah, maka sah-sah saja dan sudah sesuai aturan. Beliau PNS dan pejabat setara eselon IB. Jadi, intinya semua sesuai keinginan, kebijakan dan kebijaksanaan Presiden,” sebutnya.
Menurut Hasbar, Presiden Jokowi sebagai sosok yang pernah lama tinggal di Aceh, tentunya sangatlah paham yang tepat untuk Aceh, yang lebih memahami situasi lapangan dan karakteristik serta kearifan lokal masyarakat Aceh.
“Kebijaksanaan presiden tersebut tentunya dengan keputusan terbaik dengan berbagai pertimbangan, jadi kita tunggu saja kebijaksanaan tersebut. Biarkan mengalir sebijaksana mungkin,” pungkasnya.