(Kronik Konflik Satwa-Manusia)
Oleh : Teuku Masrizar
Pepatah dari judul tulisan ini bukan sekedar pantun semata tapi telah menjadi fakta-fakta dan kejadian nyata yang telah terjadi. Senin, 7 Februari 2022 lalu, Amrimus (67 tahun) warga Seulekat Kecamatan Bakongan Timur Kabupaten Aceh Selatan saat sedang bekerja di kebun sawitnya diterkam harimau, beberapa bagian tubuhnya terluka, syukur dia selamat.
Sementara Rabu, 23 Februari 2022, Hasanuddin (71 Tahun) warga gampong Ujong Tanoh Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan tatkala memetik kangkung di sungai, tangannya nyaris putus dimakan buaya dan terpaksa diamputasi di rumah sakit. Kejadian ini boleh disebut lepas dari mulut harimau masuk dalam mulut buaya (Leuh lam babah rimueng ditamong lam babah buya). Terakhir baru kemarin (21 Mei 2022) kejadian yang sama dialami Muhajir Hus (43 Tahun) warga Seuleukat Bakongan Timur Kabupaten Aceh Selatan, kakinya mengalami luka parah akibat gigitan dan cakaran harimau.
Bisa jadi pepatah ini atas kejadian pada masa lampau. Kali ini kejadiannya dengan orang yang berbeda namun sama-sama diterkam harimau dan buaya (satwa). Pepatah ini menggambarkan sebuah kejadian “kemalangan ditimpa dengan kemalangan berikutnya” sama halnya dengan pepatah “sudah jatuh ketimpa tangga”. Setidaknya pepatah ini telah mengigatkan kita untuk tetap berhati-hati dan waspada dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Namun lepas dari sejarah hadirnya pepatah ini, insiden diterkam harimau dan dimakan buaya telah nyata terjadi dihadapan kita.
Tiga kejadian tragis yang nyaris merenggut nyawa ini patut disikapi dengan sungguh-sungguh oleh stakeholder terkait. Rentetan kejadian ini sebagian dari kronik konflik satwa dengan manusia sedang dan akan terus terjadi bila tidak segera dicarikan solusi dengan baik sehingga tidak saja berakibat pada terganggu aktivitas warga masyarakat dalam kesehariannya tetapi lebih buruk lagi telah menjadi ancaman bagi keselamatan dan nyawa manusia.
Suaka Marga Satwa Rawa Singkil (Rawa Trumon) sebagai kawasan konservasi yang masih dekat pemukiman masyarakat. Namun hal ini tentu tidak menjadi pembenaran dan masuk akal sehingga mereka menjadi korban. Sejak lama mereka dan masyarakat lainnya secara turun-temurun lahir, tumbuh dan berkembang serta hidup harmonis berdampingan dengan alam. Jarang sekali konflik manusia dengan satwa terjadi. Namun sejak penghujung 2021 sampai saat ini intensitas dan frekuensi konflik semakin meningkat, hal ini dibuktikan dengan seringnya warga masyarakat melihat harimau memasuki kebun dan perkampungan mereka.
Deforestasi dan Konversi Lahan
Berkurangnya tutupan dan luas hutan menjadi salah satu pemicu munculnya konflik satwa dengan manusia. Pun demikian halnya dengan konversi (perubahan) lahan menjadi perkebunan. Perubahan ini serta merta akan mengganggu habitat (tempat hidup) dan sumber makanan bagi satwa. Pertanyaannya apakah hutan dan lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara lebih produktif. Jawabannya tentu saja bisa namun harus sesuai dengan ketentuan dan aturan yang ada. Wilayah dan batas secara sacara langsung dapat dimanfaatkan, tidak dapat dimanfaatkan namun dapat dirasakan manfaatnya secara tidak langsung.
Penguasaan lahan untuk perkebunan merupakan masalah lainnya yang berpotensi munculnya konflik satwa dengan manusia. Tatkala hutan terus dirubah bentuk menjadi areal perkebunan maka dengan sendirinya tempat hidup dan wilayah jelajah satwa terganggu. Dengan demikian satwa liar akan memasuki wilayah perkampungan masyarakat. Penataan batas wilayah menjadi hal pokok untuk menjamin keberlangsungan hidupan liar itu terjadi. Disisi lain tak dipungkiri masyarakat dihadapkan dengan keinginan dan kebutuhan hidup yang terus meningkat sehingga hutan dan lahan dijadikan perkebunan merupakan pilihan jangka panjang untuk kelangsungan hidupnya.
Konservasi Salah Urus
Memindahkan satwa dari satu habitat ke habitat lainnya adalah sebuah tindakan yang perlu perhitungan dengan matang. Perlu dipelajari secara komprehensif terkait tingkah laku satwa dan karakteristik wilayah dengan benar. Konon satwa jinak dilepasliarkan maka akan terbodoh-bodoh dalam mencari makanan. Konsekuensinya akan mencari yang instan di pemukiman warga masyarakat. Kebiasaan sangat menentukan keberlangsungan hidup dan kehidupan.
Beberapa kali di wilayah empat kecamatan dalam wilayah Trumon dan Bakongan. Masyarakat dapat melihat secara langsung harimau dalam wilayah pemukiman mereka. Di kebun, dibelakang rumah bahkan melintasi jalan-jalan kebun. Pada saat yang sama harimau dapat dilihat di beberapa tempat berbeda dalam wilayah ini. Ini menggambarkan bahwa bahwa harimau tidak satu ekor namun ada beberapa ekor. Dan hanya bermain di seputaran pemukiman saja, jarang masuk ke wilayah hutan. Patut diduga tidak masuknya harimau ke wilayah hutan bisa jadi dalam wilayah hutan tersebut dikuasai oleh harimau lokal sebagai penguasanya.
Saya lahir dan besar sampai menamatkan pendidikan menengah atas di wilayah Trumon dan Bakongan. Saya melihat, mendengar, merasakan apa saja yang terjadi dalam wilayah ini. 20 tahun lalu sangat jarang terjadi konflik satwa dengan manusia. Kalaupun ada namun intensitas dan frekuensinya tidak sesering sebagaimana dalam satu tahun terakhir. Dengan sering munculnya harimau di pemukiman masyarakat pada waktu yang relatif sama dan tempat berbeda menunjukkan bahwa species banya, patut diduga dalam wilayah ini ada kegiatan pelepas-liaran harimau tapi tidak dapat dikendalikan dengan baik.
Dibutuhkan Solusi
Konflik satwa dengan manusia harus segera dicari solusi pemecahannya. Langkah konkrit dan operasional mesti segera ditemukan, tentunya diawali dengan mempelajari latar belakang penyebab timbulnya konflik kemudian dicari jalan keluar win-win solution, sehingga pernyataan dan pertanyaan “Pentingkah Satwa daripada Manusia” dapat ditemukan jawabannya, boleh jadi ada solusi permanen terhadap penanggulangan konflik satwa. Maka dengan segala keterbatasan, kemampuan dan belajar dari pengalaman menjadi salah satu jalan untuk menemukan solusi terhadap masalah yang hadapi. Masyarakat tentu saja sudah takut adanya korban yang berjatuhan lagi akibat dari belum ada penanggulangan ini.
Maka sudah tepat sebagaimana yang disampaikan Ketua DPR Kabupaten Aceh Selatan Amiruddin dalam sebuah media online, bahwa rentetan dari peristiwa konflik satwa dengan manusia yang terjadi dalam wilayah ini sudah bisa ditetapkan dengan status darurat gangguan harimau. Sehingga penanganan masalah ini menjadi tuntas.
Sekali lagi, mencari solusi dalam upaya penanggulangan konflik satwa dengan manusia bukan upaya yang mudah, pola penanggulangan yang telah pernah dipraktikkan mempunyai kelemahan baik dari segi pembiayaan, teknis atau kondisi alam setempat, untuk itu perlu terus dicari alternatif lain dengan menggali pada kearifan lokal atau kebiasaan masyarakat setempat dalam menangani konflik harimau dan buaya serta satwa lainnya, bila perlu belajar dari daerah atau negara lain.
Dalam Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dijelaskan bahwa Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam atau mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, harta benda dan dampak psikologis. Merujuk pada definisi ini maka konflik satwa dengan manusia yang telah berulang-ulang terjadi masuk dalam kategori bencana. Maka tahapan dan kegiatan pencegahan terhadap konflik melalui pendekatan penanggulangan bencana seperti kesiapsiagaan, peringatan dini, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi. Semua ini merupakan langkah dan tahapan dalam penanggulangan berncana.dan bisa diadopsi dalam penanggulangan konflik satwa dengan manusia.
Konflik bila tidak diselesaikan dengan pendekatan yang benar maka akan terus berlangsung dan korban akan kembali berjatuhan. Ini tidak hanya menjadi tugas satu instansi, badan atau kantor baik secara vertical maupun otonom, namun mesti menjadi tanggung jawab bersama, kolaborasi dan saling melengkapi. Ada pihak yang mengambil peran pada bagian hulu, seperti mitigasi dan ada pada bagian hilir seperti tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi. Apabila pembagian kerja dilakukan maka penanggulangan bencana konflik satwa yang sedang terjadi akan dapat diselesaikan secara sistematis.
Pada bagian lain sesuai dengan kewenangannya perlu dilakukan penataan batas kawasan konservasi dengan wilayah luarnya, demikian juga dengan upaya-upaya sosialisasi dan penegakan hukum lingkungan dengan baik. Sehingga konflik satwa dengan manusia tidak terus terjadi. Dan tak akan ada lagi berita warga diterkam harimau dan dimangsa buaya.
Penulis: Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Aceh Selatan