Menu

Mode Gelap

Budaya · 23 Mei 2022 ·

Interprofessional Colaboration (IPC) Tantangan Dan Harapan Dunia Kesehatan


					Interprofessional Colaboration (IPC) Tantangan Dan Harapan Dunia Kesehatan Perbesar

Oleh : Eva Nandawati

Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh

 

Kebutuhan masyarakat akan kualitas layanan rumah sakit menjadi tuntutan utama yang harus diperhatikan oleh pelayanan kesehatan di rumah sakit. Upaya peningkatan keselamatan pasien pada pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari peran dan tanggung jawab oleh seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit. Kolaborasi antar profesi merupakan hal yang penting dalam pelaksanaan program keselamatan dan meningkatkan kepuasan pasien. Rumah sakit perlu melakukan berbagai inovasi dalam rangka menghasilkan pelayanan bermutu bagi pasien salah satu inovasi yang dapat dilakukan adalah melaksanakan kolaborasi antar tenaga Kesehatan.

Tenaga kesehatan harus melakukan praktek kolaborasi dengan baik dan tidak melaksanakan pelayanan kesehatan sendiri-sendiri. Salah satu akibat dari tidak dilaksanakannya kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah tingginya kesalahan dalam pembuatan resep obat di Indonesia yaitu sebanyak 98,69% yang merupakan akibat dari kesalahan dalam penulisan resep dokter, apoteker yang kurang tepat dalam menyiapkan obat dan pemberian informasi mengenai penggunaan obat yang kurang baik.

Selain itu, menurut Australian National Prescription Service, 6% kasus yang terjadi di rumah sakit disebabkan oleh efek samping obat dan kesalahan dalam proses pengobatan. Hal ini terjadi karena kolaborasi yang buruk di antara para tenaga kesehatan. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dari 421 juta rawat inap diseluruh dunia setiap tahun, sekitar 42,7 juta kejadian buruk terjadi karena disebabkan oleh kesalahan medis dan penanganan pasien yang tidak tepat.

Di Indonesia sendiri kolaborasi interprofesi masih belum terlaksana dengan baik dan masih dilaksanakannya stereotyping kolaborasi tradisional yang beranggapan bahwa dokter adalah leader dan decision making, sementara pelaksananya adalah perawat, bidan dan farmasi.

Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa paradigma pelayanan kesehatan saat ini mulai berubah dari medical centered care ke arah pelayanan yang memusatkan perhatian pada pasien (Patient Centered Care).   Pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah sakit dilakukan oleh berbagai profesi tenaga kesehatan. Berbagai profesi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan diantaranya yakni dari tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis dan teknik biomedika (UU Nomor 36 tahun 2014).

Kumpulan berbagai profesi yang bekerja sama memberikan pelayanan Kesehatan  ini di kenal dengan istilah kolaborasi interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) yaitu kemitraan antara orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan. Menurut WHO, IPC terjadi saat berbagai profesi kesehatan bekerja sama dengan pasien, keluarga dan komunitas untuk menyediakan pelayanan komprehensif dan berkualitas tinggi (WHO, 2010).

Pelaksanaan IPC tentu  memberikan dampak yang sangat bearti dalam pelayanan kesehatan, 3K (keselamatan, kepuasan dan kualitas pelayanan) dapat tercapai. Melalui kolaborasi dan kerjasama yang baik maka keselamatan pasien meningkat, pasien akan merasa puas bila perawat dan dokter membangun hubungan atau kemitraan yang baik. Karena kepuasan pasien cenderung dilihat atau dievaluasi oleh pasien dalam bentuk pelayanan yang diberikan oleh dokter dan perawat terutama dalam konteks pelayanan rumah sakit sehingga mampu meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

Salah satu penghambat dalam pelaksanaan kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah kurangnya komunikasi antar profesi, seperti kurangnya komunikasi antara dokter, perawat, dan apoteker, nutrisionis yang berujung pada kesalahan dalam meracik obat dan memberikan nutrisi kepada pasien. Komunikasi merupakan aspek penting dari kerjasama antar profesional. Tanpa komunikasi yang baik maka perawatan pasien akan menjadi kurang baik dan hanya didasarkan pada persepsi. Komunikasi dalam pelaksanaan IPC merupakan faktor penting dalam meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien.

Latar belakang tingkat pendidikan yang berbeda juga menjadi penghambat dalam upaya penyelamatan pasien, yang dimana satu profesi merasa bahwa pengetahuan dan perannya lebih tinggi di bandingkan dengan profesi lain sehingga kolaborasi dan kerjasama yang dilakukan menjadi kurang baik. Latar belakang tingkat pendidikan dari masing masing tenaga kesehatan akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya saat melakukan tindakan kolaborasi.

Selain itu, keterbatasan pemahaman akan peran masing-masing jabatan akan mempengaruhi pelaksanaan kerjasama, sudah seharunya masing masing profesi memahami dan mengetahui tuga, fungsi dan tanggung jawabnya masing masing. Sehingga tidak terjadi tumpeng tindih dalam bekerja.

Hambatan hambatan ini menjadi tantangan untuk terlaksanakanya IPC dengan baik, Namun, mengingat pentingnya penerapan IPC ini di ranah kesehatan maka sudah selayaknya kita bekerja sama menuju aceh sehat yang lebih baik. Harapan ini tentu bisa terwujud di mulai dengan kurikulum pendidikan berbasis kolaborasi (IPE) di bangku perkuliahan. Ini penting agar pemahaman tentang kolaborasi ini sudah terbentuk saat pemuda pemudi pewaris negeri ini memperoleh ilmu dan terbiasa dengan budaya praktek interprofessional kolaborasi (IPCP) yang baik ini.

IPE dan IPCP adalah konsep yang terpisah namun terkait. Bagi profesional kesehatan, belajar keterampilan untuk bekerja secara efektif pada tim IPCP paling baik diperoleh melalui IPE, di mana siswa dari dua atau lebih profesi kesehatan belajar bersama, sehingga mereka dapat memberikan perawatan berbasis pasien yang kolaboratif, aman, bermutu tinggi, mudah diakses. Implementasi IPE di bidang kesehatan dilaksanakan kepada mahasiswa dengan tujuan untuk menanamkan kompetensi-kompetensi IPE sejak dini dengan retensi bertahap, sehingga ketika mahasiswa berada di lapangan diharapkan dapat mengutamakan keselamatan pasien dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bersama profesi kesehatan yang lain.

Penelitian yang dilakukan di Jepang pada musibah pasca gempa dan tsunami terhadap implemntasi IPCP dalam melakukan pembelajaran antarprofesi kesehatan cukup efektif dengan sistem IPCP. Keberhasilan tersebut 78 % dapat meningkatkan kolaborasi dan meningkatkan komunikasi antarprofesi kesehatan (Watanabe & Koizumi, 2010). Di Australia sudah sejak lama dikembangkan IPE bahkan saat ini telah diintegrasikan pada kurikulum pendidikan kesehatan karena 87 % dapat meningkatkan kemampuan kolaborasi, meningkatkan minat mahasiswa kesehatan (Christopherson, 2015).

Dengan adanya universitas yang menyelenggarakan beberapa program pendidikan profesi kesehatan akan sering terjadi interaksi dan berkolaborasi antar profesi kesehatan. Inilah yang menjadi salah satu kelebihan untuk pengembangan konsep IPE di Indonesia. Sudah seharusnya trand dan isu mengenai IPE dikembangkan dan ditindak lanjuti dengan serius. Pengaplikasian IPE dapat berupa kuliah pakar dari beberapa latar belakang pendidikan seperti dokter, perawat dan ahli gizi, serta diskusi dalam pemecahan kasus dengan pendekatan dari beberapa aspek kesehatan. pendekatan dua metode ini dalam simulasi program IPE dapat meningkatkan sikap mahasiswa tentang kolaborasi menyelesaikannya.

Beruntungnya saat ini di Universitas Syiah Kuala sudah ada penerapan IPE di bangku Magister, hanya saja mungkin perlu lebih di kembangkan sehingga kurikulum IPE ini tidak hanya pada satu profesi saja, tapi juga melibatkan berbagai profesi Kesehatan lainnya, seperti yang di katakan oleh DR. dr. Dedy Syahrizal, Mkes sebagai seorang dosen pengajar sekaligus pimpinan Pusat Riset Kolaborasi Ilmu Kesehatan USK.

Di Rumah Sakit sebagai akses utama pelayanan kesehatan yang saat ini sudah di terapkan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) adalah dokumentasi antar profesi pemberi asuhan keperawatan mengenai perkembangan pasien dalam bentuk reintegrasi dalam rekam medis pasien. Dengan adanya catatan terintegrasi mewajibkan setiap profesi melakukan pencatatan pada dokumen yang sama. Metode pencatatan terintegrasi ini diharapkan dapat meningkatkan komunikasi efektif antar profesi, pencatatan dilakukan lebih optimal, meminimalkan miss komunikasi, dan meningkatkan keselamatan pasien yang berdampak kepada mutu pelayanan mugkin ada baiknya untuk pemegang wewenang berdiskusi.

Namun hal ini belum cukup untuk penerapan interpersonal kolaborasi sebagai mestinya. Sebaiknya Rumah sakit  membuat regulasi kebijakan yang pasti  untuk pelaksanaan praktek kloborasi interprofesi  ini (misalnya sepeti S0P) dan mengadakan pelatihan-pelatihan interpersonal yang bertujuan memberi pemahaman dan ilmu kepada petugas Kesehatan  terkait IPC .

Penerapan IPC Ini memang penuh tantangan dan hambatan agar dapat terlaksana dengan baik, namun kita selalu yakin apa pun itu butuh proses. Besar harapan agar kita bersama mampu melihat kualitas pelayan kesehatan yang lebih baik. Mari bekerja sama menuju Aceh sehat, Indonesia Maju.

 

Artikel ini telah dibaca 1,902 kali

KRUSIAL badge-check

Jurnalis

Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Krusial.com dan Ikuti Berita Lainnya di Google News
Baca Lainnya

Peran Strategis Partai Politik Lokal Dalam Pilkada Aceh 2024

10 Desember 2024 - 14:25

Faiz-Syarifah Dinobatkan Sebagai Agam Inong Aceh 2024

25 November 2024 - 09:31

Buka Festival Tari Ratoh Jaroe, Pj Ketua Dekranasda Aceh : Terimakasih Telah Mempromosikan Kebudayaan Aceh

23 November 2024 - 10:09

Pentingnya Kesadaran Sosial Dalam Isu Gender dan Keadilan di Aceh

20 November 2024 - 16:26

Eksistensi Partai Politik Lokal Aceh Dalam Pilkada Tahun 2024

19 November 2024 - 13:35

Mengapa Kita Harus Memenangkan Haji Mirwan & Baital Mukaddis ?

29 September 2024 - 03:00

Trending di News