Menu

Mode Gelap

Opini · 14 Mar 2022 ·

MPU Aceh dan Antrian Isteri “Poliandri”


					MPU Aceh dan Antrian Isteri “Poliandri” Perbesar

MPU Aceh dan Antrian Isteri “Poliandri”

Oleh : Andi Saputra (Ketua Insan Meurah Silu)

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang baru diharapkan dapat menjembatani dan mencari solusi terhadap beberapa persoalan hukum Islam dengan memanfaatkan kekhususan Aceh.

Misal bagaimana solusi bagi isteri yang dianggap bersuami lebih dari satu dalam waktu bersamaan (Poliandri) oleh Hukum Positif karena talak oleh suami lamanya terjadi di luar Pengadilan?

Hal tersebut terjadi karena kebanyakan masyarakat dalam menyelesaikan persoalannya ingin cepat dan tidak repot. Ada juga yang merasa malu karena persidangan perceraian dianggap membuka aib.

Dan rata-rata juga berdalih “yang penting sah menurut Agama” karena dalam Hukum Islam (Fiqh) yang dianut mayoritas Muslim di Indonesia, khususnya Aceh, talak adalah hak suami, sehingga talak yang dilakukan oleh suami dimanapun otomatis akan jatuh talaknya.

Sedangkan dalam Hukum Positif, talak yang dilakukan di luar Pengadilan itu tidak sah. Karena merujuk pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan”.

Pada Pasal 34 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.”

Efek negatif yang sering dibicarakan adalah suami-isteri yang melakukan perceraian di luar pengadilan akan kesulitan menikah lagi di Kantor Urusan Agama (KUA) karena akan dimintai Akta Cerai dari Pengadilan Agama.

Padahal terdapat banyak kasus yang lebih rumit bahkan tidak hanya merugikan mantan Suami-Isteri tapi juga anak-anak dari pasangan barunya.

Pasangan yang melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama, dan kemudian menikah lagi serta dikaruniai anak dari pasangan baru, maka suami dianggap berpoligami, dan isterinya dianggap poliandri karena perceraian yang terjadi tidak sah menurut Hukum Positif. Akan sangat sulit mengurus dokumen kependudukan yang baru termasuk dokumen anak.

Celakanya, untuk melakukan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama pun sudah pasti terkendala karena tersandera oleh status “Poligami dan Poliandri” tersebut.

Contoh lain, yang juga harus mendapat perhatian MPU Aceh seperti pencatatan nikah wanita Muallaf di KUA dengan wanita yang murtad di Dinas Kependudukan. Mana yang harus dimudahkan, dan mana yang harus diperketat?

Semoga MPU Aceh yang baru tidak hanya dapat membantu mensosialisasi komparasi Hukum terkait hal ini, namun juga dapat membangun sinergisitas antar lembaga terkait dan mendorong lahirnya Qanun Aceh tentang Keluarga yang lebih solutif. (*)

Artikel ini telah dibaca 36 kali

KRUSIAL badge-check

Jurnalis

Anda dapat menyiarkan ulang, menulis ulang, dan atau menyalin konten ini dengan mencantumkan sumber Krusial.com dan Ikuti Berita Lainnya di Google News
Baca Lainnya

Peran Strategis Partai Politik Lokal Dalam Pilkada Aceh 2024

10 Desember 2024 - 14:25

Pentingnya Kesadaran Sosial Dalam Isu Gender dan Keadilan di Aceh

20 November 2024 - 16:26

Eksistensi Partai Politik Lokal Aceh Dalam Pilkada Tahun 2024

19 November 2024 - 13:35

Mengapa Kita Harus Memenangkan Haji Mirwan & Baital Mukaddis ?

29 September 2024 - 03:00

PILEH AWAK DROE, Issue Putra Daerah dalam Konteks Pilkada Aceh Selatan.

18 September 2024 - 23:11

Pilkada dan Politik Kedaerahan

10 September 2024 - 01:10

Trending di News