Secara nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) serentak menggelar peringatan Hari Bumi yang diperingati tanggal 22 April setiap tahunnya.
“Pulihkan Bumi, Tolak Investasi Kotor” menjadi tema besar pada peringatan 2022. Peringatan kali ini digelar secara virtual, yaitu siaran langsung melalui Instagram WALHI Nasional dan setiap daerah seluruh Indonesia serta diminta untuk berorasi mengajak berbagai komunitas untuk peringatan Hari Bumi.
Sedangkan WALHI Aceh menggelar diskusi bersama mahasiswa dan sejumlah komunitas di Banda Aceh pada peringatan Hari Bumi di depan kantor. Setelah itu mereka diminta untuk berorasi, baca puisi atau sejumlah kreativitas lainnya.
Dalam peringatan Hari Bumi di Banda Aceh, WALHI Aceh mengusung tema “Bek Meucuca Ateuh Bumoe”. Tulisan itu menjadi latar belakang para orator saat berorasi pada peringatan Hari Bumi.
Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin menjelaskan,tema secara nasional “Pulihkan Bumi, Tolak Investasi akotor”. Mengapa ini diambil, karena banyak industri yang berinvestasi di Indonesia, khususnya di Aceh sebagian besar membutuhkan lahan yang luas, menyasar Kawasan hutan dan eksploitasi sumber daya alam. Sehingga sangat sulit begi investasi kotor itu tidak merusak lingkungan.
Hari Bumi Internasional memiliki semangat untuk mengajak semua pihak untuk memuhihkan kondisi bumi yang diketahui saat ini kualitasnya semakin menurun dengan ditandai perubahan iklim dan meningkatnya intensitas bencana.
“(Mereka) membutuhkan lahan yang besar dan susah tidak merusak lingkungan di Indonesia, juga di Aceh,” kata Ahmad Shalihin, Jumat (22/04/2022).
Sedangkan tema lokal WALHI Aceh, “Meucuca” maksudnya adalah, sebut Shalihin, prilaku penguasa dan pengusaha yang memaknai lingkungan hanya sebagai objek eksploitasi semata dengan mengabaikan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup,
“Prilaku serakah dalam penguasaan ruang dan ham mengatasnamakan pembangunan dan kesejahteraan, inilah kami maksud Meucuca,” ungkapnya.
Om Sol, sapaan akrab Direktur WALHI Aceh mengungkapkan, hal ini juga berlaku di Aceh. Investasi yang datang ke Tanah Rencong juga kotor dan kebanyakan merusak hutan dan lingkungan.
Sehingga berdampak terhadap rusaknya lingkungan yang mengakibatkan bencana alam, baik banjir bandang, konflik satwa karena banyak habitannya sudah dialih fungsikan hingga terjadi konflik dengan masyarakat sekitar lahan.
“Investigasi di Aceh juga investasi kotor, terjadi konflik dengan masyarakat,satwa, banyak terjadi banjir, awal tahun ini kita disambut dengan banjir dan semua itu bermula dari investasi yang tidak bersih,” ungkapnya.
Menurut Om Sol, tidak hanya investasi kotor yang sedang terjadi di Nusantara ini. Tetapi persoalan lain adalah konflik regulasi, undang-undang yang tidak berpihak ke masyarakat dan sejumlah persoalan perundang-undangan yang dinilai hanya menguntungkan pemilik modal.
“Bukan hanya investasi, tapi juga UU yang diambil oleh negara, UU ibu kota baru, UU tenaga kerja, semua mengabaikan prinsip berkeadilan dan berkelanjutan” ungkapnya.
Hal paling miris lagi, sebutnya, gini rasio penguasaan tanah di Indonesia sebesar 0,58 yang artinya lahan yang ada di Indonesia sebanyak 59 persen dikuasi hanya oleh 1 persen orang Indonesia. Yaitu pengusaha besar, terutama pemilih lahan sawit dan sejumlah izin perhutanan lainnya.
“59 persen ruang hanya dikuasi oleh 1 persen oleh orang Indonesia,” ungkapnya.
Sedangkan di Aceh investasi kotor lebih banyak berupa usaha pertambanagn, dan sawit (perkebunan maupun pabrik CPO). Dampaknya sering terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat, hingga konflik satwa dan sering juga ditemukan satwa dilindungi mati dalam kawasan perkebunan sawit. Serta pencemaran lingkungan.
Oleh karena itu WALHI Aceh meminta untuk segera dilakukan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang membuka lebar keran investasi dan berdampak pada masifnya ekspansi industri ekstraktif.
Mengoreksi pembangunan-pembangunan skala besar yang tidak berkontribusi secara signifikan kepada kehidupan rakyat.
Ia menilai, pembangunan skala besar saat ini malah merampas apa yang dimiliki oleh rakyat, mulai dari merampas tanah, merampas keutuhan hutan sebagai bagian dari ruang hidup, dan merampas pantai dan sungai yang selama ini itu menjadi bagian dari kehidupan keseharian sebagian masyarakat Indonesia.
Mengevaluasi seluruh bentuk-bentuk perizinan yang ada saat ini, baik itu izin perkebunan, pertambangan, pemanfaatan hutan ataupun izin pariwisata berbasis modal di wilayah pesisir dan perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat atau konflik agraria.
Maka tugas negara adalah mengembalikan kembali kedaulatan rakyat atas tanah atau ruang hidupnya pada saat proses evaluasi ditemukan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi pada pengerusakan lingkungan, maka proses evaluasi itu harus menindaktegas perusahaan dengan melakukan pencabutan atau pemulihan yang seharusnya dilakukan perusahaan.