SEBUAH CERPEN
Penulis : SAFDAR.S
Pagi baru saja berlalu, hawa dingin masih menyelimuti, tanah di pekarangan rumah berbahan material kayu itu masih basah akibat hujan yang semalaman tercurah seolah menangisi nasib penduduk di pesisir negeri itu.
Letusan keras entah dari moncong M16 atau AK 47 beberapa kali menyalak membuat sekelompok bangau beterbangan menjauhi area rawa yang tertutupi semak dan perdunya tanaman rumbia.
Seorang siswa terlihat berjalan cepat, seolah menghindari pertemuan dengan sekelompok serdadu yang terlihat siap menyerbu.
Disalah satu dinding rumah berbahan kayu sampingan terlihat sebuah jam dinding berwarna putih dengan merek Seiko menunjukkan pukul 07:54 wib.
Siswa berseragam putih biru ini seolah tak memperdulikan apa yang baru saja terjadi ia terus memacu langkah, melintasi jalanan berbatu dan berdebu, sejauh 2 km jarak untuk mencapai sekolahnya.
Situasi mulai sepi, rasa mencekam menusuk ulu hati, kiri dan kanan jalan yang diselimuti semak belukar dan sawah-sawah yang tak terurus akibat perang yang tak berkesudahan.
Perang(¹) yang entah untuk suatu kepentingan mutlak demi kedaulatan atau maruwah (Marwah) atau hanya perang agar jati diri diakui bangsa-bangsa.
“Ah sudahlah, perang itu bukan apa-apa” gumannya.
“Bagi ku perang adalah terserang rasa lapar, saban hari ke sekolah tanpa merasakan nikmatnya sarapan,” umpatnya.
Di pertigaan seorang kawan bergabung bersamanya,dari gesture keduanya sangat akrab, dari postur nampak ada perbedaan usia antara mereka.
Perjalanan berlanjut, pagi itu masih mencekam, para “muge” (²) yang biasanya berseliweran tak tampak di perjalanan, abang becak pun tak terlihat, sepertinya ada suatu kejadian alamat dari dentuman keras pagi itu.
Tak terasa, keduanya telah tiba di gerbang sekolah, untuk sebuah madrasah swasta, kedisiplinan di lembaga pendidikan ini tergolong tinggi, keduanya tiba di sekolah pukul 8:25 wib, guru piket langsung menghadang.
Keduanya langsung berhadapan dengan berbagai pertanyaan atas keterlambatannya dan berbagai pertanyaan lainnya, namun setelah mendengarkan segudang alasan, keduanya mendapatkan sanksi untuk menghafal beberapa ayat pendek.
“Ya itu hukuman yang paling terhormat, dari pada harus menjaga tiang bendera setengah hari,” pikirnya.
Namun tiba-tiba, saat menyetor hafalan ayat pendek sebagai hukuman berjalan, dua suara letusan yang berentetan seolah merobek gendang telinga, memicu jantung memompa lebih kencang, menimbulkan rasa bak perenang yang sedang tenggelam.
Kedua siswa itu rubuh ke tanah, berkalang rumput halaman sekolah, sang guru yang kaget juga ikut tiarap sembari memeluk kepalanya yang penuh rambut keriting beruban.
Tembakan terus menyalak, memekakkan telinga, sementara siswa-siswa di kelas yang sedang memulai pelajaran pertama semua tiarap di bawah meja, ada yang menjerit, histeris bahkan spontan lari keluar ruangan.
Para guru terus berusaha menenangkan siswa yang berhamburan keluar ruangan,untuk tiarap hingga tembak-tembakan berakhir.
Dor.Dor dua suara pertama, trak-trak-trak dan berlanjut, berhenti dan berlanjut, hingga suara berakhir. Dua siswa yang tadi rubuh perlahan bergerak dan berdiri, banyak yang mengira mereka terkena tembakan,akan tetapi tidak, keduanya hafal betul apa yang harus mereka lakukan ketika suara yang berasal dari ledakan supersonik itu terdengar.
Ya mereka hanya tiarap namun caranya yang membuat guru piket hampir jantungan.
Siapa yang menembak dan ditembak ?
Bagi kedua siswa ini, mereka adalah si pemegang dan pemilik senjata, penunggu dan penyerang, yang ingin sama-sama menjadi pahlawan, atau sama-sama memiliki suatu tujuan, tapi berada di pihak yang saling menyalahkan.
Baginya, perang itu telah merenggut kemerdekaan, merdeka mendapatkan pendidikan yang layak mereka perjuangkan, merdeka dari perut-perut lapar, merdeka dari tubuh-tubuh yang terbungkus pakaian dan seragam sekolah yang kumal, merdeka dari kemiskinan dan merdeka dari kemerdekaan yang berazasi.
Perang kapan dan dimana saja mudah pecah di negeri itu, tak hanya di hutan, perang bisa saja masuk kampung, pasar, pantai, dan perang hanya meluluhlantakkan masyarakat miskin di gampong yang tak kenal HAM, Politik dan Demokrasi.
Sudah terlalu jauh pembahasan perang ini…….
Dirinya yang jatuh bersimbah debu saat tembakan terjadi kini sudah bangun, sang teman duduk dengan wajah yang ketakutan, di matanya seperti terpancar kebencian, protes namun urung terhamburkan.
Guru yang sedari tadi memperhatikan keduanya menyarankan agar mereka segera masuk kelas namun harus membersihkan diri ke kamar mandi terlebih dahulu.
Begitulah, masa-masa terus berlalu, tak ada perlindungan pada mentari pagi yang suci, perang terus terjadi, seolah membina, mendidik dan mengajarkan “Pagi” menjadi “Malam” sebelum menikmati “Siang”
Ket :
¹ Situasi konflik yang disebut oleh orang awam
² Penjual Ikan Keliling